Jumat, 03 Juli 2015

Seorang yang Pemalas Part 1



Kukuruyuk.kukuruyukk,” suara ayam membuatku melek dan terbangun dari tempat tidur. Dengan pandangan yang masih kabur, Aku berusaha menggapai meja, meraba-raba mencari ponsel genggam. Pukul 05.00, tertera pada layar ponsel. “Hm, waktu yang masih malam untuk bangun,” pikirku. Kurapikan bantal, lalu melanjutkan tidur.
Seperti ada yang menampar-nampar pipi. Semakin lama semakin kasar. “Bangun bangun,suara itu terdengar di sebelah kanan telinga. Rupanya adik kecilku yang membangunkan. Dengan perasaan sedikit kesal, kusuruh dia keluar kamar. Jam di ponsel sudah menunjukan 11.00 siang. Ternyata sudah tujuh jam aku tidur.
Namaku Wawan, 22 tahun dengan jabatan pengangguran. Tepatnya, seorang bujang yang pengangguran. Semenjak lulus sekolah, Aku sama sekali belum pernah bekerja. Mungkin karena rasa malas yang lekat bersarang pada diriku. Kuhabiskan waktu di rumah untuk berdiam diri, menonton tv, dan menemani adik. Jika hari sudah gelap, Aku keluar rumah untuk bertemu teman-teman yang senasib denganku, sekadar nongkrong, bermain kartu atau melakukan hal lainnya. Begitulah rutinitas setiap hari.
Wilayah pemukimanku masih pedesaan. Aku tinggal bersama Ayah dan adik, Ibuku telah pergi, entah ke mana. Ibu pergi di saat aku masih kecil. Ayah pernah bercerita, Ibu melakukan hal itu karena pekerjaan dan keadaan Ayah yang tak kunjung berubah. Ayahku seorang penjual es cincau keliling. Selama ini, memang Ia yang menjadi tulang punggung keluarga. Pernah Aku bertanya, “kenapa Ayah tidak melakukan usaha lain?” Ayah hanya menjawab,Karena ini yang Ayahmu bisa, meracik dan membuat es cincau.”
Keadaan kami jauh dari kata kaya. Penghasilan Ayahku hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan membiayai adikku yang masih bersekolah dasar.  Televisi dan Handphone saja, baru bisa dibeli setelah Ayah menjual beberapa barang simpanannya. Pernah terbayangkan, bila Aku ikut dengan Ibu, mungkin keadaanku sekarang akan jauh lebih baik. Di samping itu, Ayah tetap sabar menasehati dan memperhatikanku setiap hari. Namun, justru hal itulah yang kemudian membuatku semakin muak. Hingga, aku pernah kabur beberapa hari ke rumah teman. Kadang Aku juga iri, ketika melihat teman seusiaku di tongkrongan yang melintas dengan mobilnya. Andai kehidupanku seperti mereka.

***
Hari Minggu, seperti biasa Aku hanya menonton tv di rumah bersama adik. Kadang kami berebut remote tv untuk melihat acara kesayangan. Aku selalu mengalah, tidak tega melihatnya menangis. Sedangkan Ayahku sibuk mencari daun cincau ke hutan.
“Wan, buka pintu!” terdengar teriakan Ayah yang mengetuk pintu dari arah depan. Kubukakan pintu dengan sedikit keheranan, karena tidak biasanya Ia pulang lebih awal. Hal itu semakin menjadi, setelah melihat wajah kecewa Ayah dengan membawa karung yang berisikan daun cincau. Nampak karung itu tidak terisi penuh. “Hari ini Ayah hanya mendapatkann setengah karung daun cincau,” ungkapnya lemas. Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
Pendapatan Ayah kini cenderung menipis. Kian hari persediaan makanan di rumah pun jadi semakin berkurang. Kepergian Ibu membuatku terpaksa belajar memasak, walaupun terkadang Ayah membeli makanan yang sudah masak di luar. Tak lama Ayahku pulang lebih awal dari biasanya. Aku sangat senang, barangkali Ayah membawa banyak makanan hari ini. Benar saja, Ayah membawa makanan, walaupun tidak banyak tapi cukup untuk Aku dan adik. Namun raut wajah Ayah agak bersedih, “Barang dagangan Ayah sudah habis, tapi pendapatan hari ini hanya cukup untuk makan dua kali, katanya. Itu karena daun cincau di hutan semakin langka. Cepatlah cari pekerjaan Wan, bantu Bapakmu ini,” lanjutnya.
Keesokaan hari, dengan malas dan rasa kantuk yang teramat sangat, Aku memaksakan diri bangun pukul 08.00 pagi. Bergegas untuk pergi ke kota, kubawa ijazah dan surat lamaran kerja, serta beberapa berkas lainnya di dalam tas. Ya, akhirnya Aku memutuskan diri untuk mencari pekerjaan. Ayah juga memberiku ongkos, setelah berhasil menjual perhiasan warisan dari Kakek.
Tidur larut, rupanya membuat rasa kantuk pagi ini betah menggelayuti kedua mataku. Adik sudah kutitipkan di rumah tetangga. Sebenarnya Aku tidak tega. Kulihat wajahnya yang memelas dan berkaca-kaca sewaktu mau kutinggalkan. Aku berangkat ke stasiun tanpa berpamitan dengan Ayah, karena Ia sudah pergi lebih awal melakukan kerja hariannya.
Jarak yang kutempuh dari desa ke stasiun cukup jauh. Seketika saja langkah kaki terhenti, ini sebab suara perutku yang sejak pagi belum terisi. Kutengok kanan dan kiri, berharap ada penjual makanan. Tidak jauh dari sudut stasiun, kulihat ada yang menjual ketan bakar. “Lumayan untuk mengganjal perut,” pikirku. Kuhampiri penjual ketan bakar itu yang tampak seumuran dengan Ayah. Ia begitu rapuh, kulit yang legam karena paparan sinar matahari, dan sebagian rambut yang telah memutih. Persis Ayahku. “Pak, pesan satu ya,” Aku duduk sambil menunggu pesanan yang sedang dibuatkan.
Setelah terasa kenyang, Aku kembali melanjutkan perjalanan. Pemandangan antrian tiket kereta yang panjang membuatku makin merasa malas. Terlintas niat untuk kembali pulang. Namun akhirnya, perhatianku teralihkan oleh seorang gadis yang mampu membuatku terpana.  Gadis itu berada di antrian tiket. Ia terlihat manis dengan rambut yang dikuncir. Kaos putih dilapis jaket biru dan rok di bawah lutut, serta ransel cokelat yang membuatnya tampak sempurna. Aku mencoba mengikutinya, masuk ke barisan antrian dengan pandang yang tertuju ke arahnya.
Usailah Ia mengantri, akhirnya segera pergi. Aku pun tak sabar ingin cepat menyusulnya. Sepanjang waktu, tak henti kukeluhkan, “cepat dong cepat!” Kutanyakan ke mana tujuan keberangkatan gadis itu pada penjaga tiket. Setelah mendapat tiket, langsung saja Aku berlari ke arah wanita itu pergi.
            Aku duduk di kereta dalam keadaan lelah. Ya, lelah karena mencari gadis itu yang tak kunjung kutemukan. Beberapa saat berlalu, tanpa sengaja saat kereta berhenti, Aku melihat gadis itu di balik kaca. Dia turun dari kereta. Aku segera menyusulnya sambil menggendong tas, beranjak dari tempat duduk. Padatnya penumpang yang turun menyulitkanku untuk melangkah cepat. Sekejap dia sudah hilang lagi, lenyap dari pandanganku. Dengan penuh kecewa campur letih, akhirnya Aku rehat sejenak di warteg sambil membeli makan. Sempat pula berbincang-bincang dengan pelanggan warte, hingga tidak terasa waktu menunjukan pukul 04.00 sore.

0 komentar:

Posting Komentar