“Kukuruyuk.kukuruyukk,” suara ayam
membuatku melek dan terbangun
dari tempat tidur.
Dengan pandangan yang
masih kabur, Aku berusaha menggapai meja, meraba-raba mencari ponsel genggam. Pukul 05.00, tertera pada layar ponsel.
“Hm, waktu yang masih malam untuk
bangun,” pikirku. Kurapikan bantal, lalu
melanjutkan tidur.
Seperti ada yang menampar-nampar pipi. Semakin lama semakin
kasar. “Bangun bangun,” suara itu terdengar di sebelah kanan telinga. Rupanya adik kecilku yang
membangunkan. Dengan perasaan sedikit
kesal, kusuruh
dia keluar
kamar.
Jam di ponsel sudah menunjukan 11.00 siang. Ternyata sudah
tujuh jam aku tidur.
Namaku Wawan,
22 tahun dengan
jabatan pengangguran. Tepatnya, seorang
bujang yang pengangguran. Semenjak
lulus sekolah, Aku sama sekali belum pernah bekerja. Mungkin karena rasa malas yang lekat bersarang pada diriku.
Kuhabiskan waktu di rumah untuk berdiam diri, menonton
tv, dan menemani adik. Jika hari sudah gelap, Aku keluar rumah untuk
bertemu teman-teman
yang senasib denganku, sekadar nongkrong, bermain
kartu atau melakukan hal lainnya.
Begitulah rutinitas setiap hari.
Wilayah pemukimanku masih pedesaan. Aku
tinggal bersama Ayah dan adik, Ibuku telah pergi, entah ke mana. Ibu
pergi di saat
aku masih kecil. Ayah
pernah bercerita,
Ibu melakukan hal itu karena pekerjaan dan
keadaan Ayah yang tak kunjung
berubah. Ayahku
seorang penjual es cincau keliling.
Selama ini, memang Ia yang menjadi tulang
punggung keluarga. Pernah
Aku bertanya, “kenapa Ayah tidak melakukan usaha lain?” Ayah hanya menjawab, “Karena ini yang Ayahmu bisa, meracik dan
membuat es cincau.”
Keadaan kami jauh dari
kata kaya. Penghasilan Ayahku hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan membiayai adikku
yang masih bersekolah
dasar. Televisi
dan Handphone saja, baru bisa dibeli
setelah Ayah menjual beberapa
barang simpanannya.
Pernah terbayangkan, bila Aku ikut dengan Ibu, mungkin keadaanku sekarang akan jauh lebih
baik. Di samping itu, Ayah
tetap sabar menasehati dan
memperhatikanku setiap
hari. Namun, justru hal itulah yang kemudian membuatku
semakin muak. Hingga, aku pernah
kabur beberapa hari ke rumah
teman. Kadang Aku juga
iri, ketika melihat teman seusiaku di tongkrongan yang melintas
dengan mobilnya.
Andai kehidupanku seperti mereka.
***
Hari Minggu,
seperti biasa Aku
hanya menonton tv di rumah
bersama adik.
Kadang kami berebut
remote tv untuk melihat acara
kesayangan. Aku
selalu mengalah, tidak
tega melihatnya menangis.
Sedangkan Ayahku sibuk mencari daun cincau ke
hutan.
“Wan, buka pintu!” terdengar teriakan Ayah yang mengetuk
pintu dari arah depan. Kubukakan
pintu dengan sedikit keheranan, karena tidak biasanya Ia pulang lebih awal. Hal
itu semakin menjadi, setelah melihat wajah kecewa Ayah dengan membawa
karung yang berisikan daun cincau.
Nampak karung itu tidak terisi penuh. “Hari ini Ayah hanya mendapatkann
setengah karung daun cincau,” ungkapnya
lemas.
Aku hanya mengangguk-anggukan kepala.
Pendapatan Ayah kini cenderung menipis. Kian
hari persediaan makanan di rumah pun
jadi semakin berkurang. Kepergian
Ibu membuatku terpaksa belajar memasak, walaupun terkadang Ayah membeli makanan yang sudah masak di luar. Tak
lama Ayahku pulang lebih awal
dari biasanya. Aku sangat senang, barangkali Ayah membawa banyak makanan hari ini. Benar saja, Ayah
membawa makanan,
walaupun tidak banyak tapi
cukup untuk Aku
dan adik. Namun
raut wajah Ayah
agak bersedih, “Barang dagangan Ayah sudah habis, tapi pendapatan hari
ini hanya cukup untuk makan dua kali,” katanya. “Itu karena daun cincau di hutan
semakin langka. Cepatlah cari pekerjaan Wan,
bantu Bapakmu ini,” lanjutnya.
Keesokaan hari, dengan malas dan
rasa kantuk yang teramat sangat, Aku memaksakan diri bangun pukul 08.00
pagi. Bergegas untuk pergi ke kota, kubawa ijazah dan surat
lamaran kerja, serta beberapa berkas
lainnya di dalam tas. Ya, akhirnya Aku memutuskan diri untuk mencari pekerjaan.
Ayah juga memberiku ongkos, setelah berhasil menjual perhiasan warisan dari
Kakek.
Tidur larut, rupanya membuat rasa kantuk pagi ini betah menggelayuti
kedua mataku. Adik
sudah
kutitipkan di rumah
tetangga. Sebenarnya
Aku tidak tega. Kulihat wajahnya yang
memelas dan berkaca-kaca
sewaktu mau kutinggalkan. Aku berangkat
ke stasiun tanpa berpamitan dengan Ayah,
karena Ia sudah pergi lebih awal melakukan kerja
hariannya.
Jarak yang kutempuh dari desa ke stasiun cukup jauh.
Seketika saja langkah kaki terhenti, ini sebab suara perutku yang sejak pagi belum terisi.
Kutengok kanan dan kiri,
berharap ada penjual
makanan. Tidak
jauh dari sudut stasiun,
kulihat ada yang menjual ketan bakar. “Lumayan
untuk mengganjal perut,” pikirku. Kuhampiri
penjual ketan bakar itu yang tampak seumuran dengan Ayah. Ia begitu rapuh,
kulit yang legam karena paparan sinar matahari, dan sebagian rambut yang
telah memutih. Persis Ayahku. “Pak, pesan satu ya,” Aku duduk sambil
menunggu pesanan yang sedang dibuatkan.
Setelah terasa kenyang, Aku kembali melanjutkan perjalanan. Pemandangan antrian
tiket kereta yang panjang membuatku makin
merasa malas. Terlintas
niat untuk kembali pulang. Namun akhirnya, perhatianku teralihkan oleh seorang gadis yang mampu
membuatku terpana. Gadis
itu berada di antrian tiket. Ia
terlihat manis dengan rambut yang dikuncir. Kaos putih dilapis jaket biru dan
rok di bawah lutut, serta ransel
cokelat yang membuatnya tampak
sempurna. Aku mencoba
mengikutinya, masuk
ke barisan antrian dengan
pandang yang tertuju ke arahnya.
Usailah Ia mengantri, akhirnya segera pergi. Aku
pun tak sabar ingin cepat menyusulnya. Sepanjang waktu, tak henti kukeluhkan,
“cepat dong cepat!” Kutanyakan
ke mana
tujuan keberangkatan gadis
itu pada penjaga tiket. Setelah mendapat
tiket, langsung saja Aku berlari ke arah wanita itu pergi.
Aku duduk di kereta dalam keadaan
lelah. Ya, lelah
karena mencari gadis itu yang tak kunjung kutemukan. Beberapa saat berlalu, tanpa
sengaja saat kereta berhenti,
Aku melihat gadis itu di
balik kaca. Dia turun dari kereta. Aku segera menyusulnya sambil menggendong tas, beranjak dari tempat duduk.
Padatnya penumpang yang
turun menyulitkanku
untuk melangkah cepat. Sekejap
dia sudah hilang lagi, lenyap dari pandanganku. Dengan penuh kecewa campur letih, akhirnya Aku rehat
sejenak di warteg sambil membeli makan. Sempat
pula
berbincang-bincang
dengan pelanggan warte, hingga
tidak terasa waktu menunjukan pukul 04.00 sore.
0 komentar:
Posting Komentar