lihai jari jemari ini mengetik, di iringi lagu instrumental yang begitu romantis, terbayang indahnya masa masa dulu, banyak hal yang kita lakukan bersama, suka duka, pahit pedih, hingga tetesan air mata yang menetes, air mata itu bukan hanya bentuk kepedihan, melainkan bentuk kebahagiaan, ingin rasanya kembali ke masa masa itu, masa dimana setiap langkahku selalu ada bayangmu, saat aku bangun dari tidurku ada ucapan yang manis di balik layar handphoneku, saat aku putus asa kau bisikan kata semangat di kupingku, saat aku mengalami ke suksesan kita merayakannya bersama, di dalam canda tawa yang ikhlas, hmmm itu hanya kenangan, kenangan yang tak akan terulang, seperti harta yang sudah hilang, tak dapat di temukan lagi, saat ini aku hanya sedang berada di depan layar berusaha melangkah kedepan mencari sesuatu yang tak akan aku lepaskan, sosok wanita yang akan menemaniku kelak di jalan yang terjal penuh rintangan penuh lubang, mungkin ini hanya harapan belaka, tapi apakah seorang yang masa lalunya kelam seperti saya mampu? apakah seorang yang menodai hati seorang wanita seperti saya bisa? apakah seorang yang membuat wanita meneteskan air mata seperti saya itu layak? apakah mampu apakah bisa apakah layak?! yang saya bisa hanyalah menundukan kepala menyesali perbuatan yang telah di lakukan dulu, aku ingin memperbaikinya kembali ke masa itu, namun aku tak bisa! apa yang harus aku lakukan?! diam terpuruk dalam penyesalan? apakah perlu aku akhiri hidup ini? tidakah pilihan lain?! kini lututku lemas, pikiranku terbuka, melihat sinar yang semakin lama semakin terang dari kejauhan, sinar apakah itu?! sinar yang mampu membuatku berubah, sinar yang mampu membuatku berdiri kembali, sinar itu berusaha pergi, akan ku dapatkan sinar itu, sinar yang indah dan mnyejukan hati.
Sabtu, 04 Juli 2015
Jumat, 03 Juli 2015
Seorang yang Pemalas Part 2
Posted on 11.22 by Toni Yulianto
| No comments
Aku nyaris melupakan tujuan awalku ke kota yang ingin
mencari kerja.
Tak jauh dari warteg, kebetulan
ada perusahaan kecil. Mungkin ini
saatnya mencoba peruntunganku di
perusahaan itu. Namun
usahaku tak membuahkan hasil,
Aku ditolak. Bahkan Manajernya sempat melecehkan, “Emang
kamu bisa apa?”
Sempat dibuat frustasi mendengar kata-katanya, hingga kuputuskan
untuk pulang ke rumah. Di
stasiun, Aku
sengaja menemui penjual ketan
bakar lagi. Sekadar membelikannya untuk adik. Sayangnya, sore itu ketan bakar sudah habis. Lantas Aku sedikit dibuatnya heran. “Dagangannya
sudah habis, kenapa dia
tidak pulang saja?,” komentarku dalam hati.
Pukul 09.00 malam,
kubuka pintu rumah dengan kunci serep yang Aku bawa. Seisi
rumah nampak sepi, sepertinya
Ayah dan adik sudah tidur. Kurebahkan
badan di kasur. Keheningan
buatku teringat akan gadis itu. Ah, begitu manisnya dia, cantik. “Tapi, bagaimana Aku bisa bertemunya lagi?,” pikirku.
Aku memutuskan untuk ke
kota. Bukan untuk mencari
kerja, tapi
berharap bisa bertemu
dengan gadis itu.
Berangkat lebih pagi, pukul 08.00 sudah berada di stasiun. Di tempat biasa,
terlihat bapak penjual ketan bakar baru saja memarkirkan grobaknya.
“Wah, kebetulan
sekali. Isi
perut dulu ah,”
benakku. Sambil menunggu
dibuatkan, Aku
memberanikan diri untuk bertanya, “Sudah dari kapan bapak
berjualan?”
“Sudah
22 tahun dek,”
jawabnya.
“Terima kasih pak,” kataku sambil
menerima ketan bakar itu. Setelahnya,
Aku berjalan menuju
loket. Seperti biasa, loket dengan antrian yang panjang.
Namun kali ini Aku tidak merasa malas,
justru sangat bersemangat. Karena
menunggu hadirnya gadis itu.
Sudah seharian Aku duduk menunggu di stasiun
dan menghabiskan banyak makanan, tapi
dia tak kunjung datang. Hah,
baiklah Aku menyerah. Mungkin sudah sebaiknya kembali pulang.
Keadaan rumah tetap sepi, walaupun Aku pulang lebih awal.
Mungkin Ayah
masih berjualan dan adik di rumah tetangga. Seharian menunggu di
stasiun membuat tubuhku terasa
letih. Aku pun tidur.
Terlalu sulit untuk lekas menyerah, kuputuskan untuk
pergi lagi ke stasiun pada keesokan harinya. Aku benar-benar ingin bertemu
gadis manis itu, Aku
sangat merindukannya.
Kulihat gerobak ketan bakar itu sudah dipenuhi orang. Ya,
kini ketan bakar sudah jadi santapan langgananku setiap kali ke
stasiun.
“Pak, pesan satu ya”
“Eh, si adek lagi. Hehe iya siap,” sepertinya bapak itu sudah mulai mengenaliku.
“Rame
ya pak, pelanggannya?”
“Iya
ni dek, biasanya sih gak seramai
ini.”
“Hm,
bapak pernah kepikiran
buat jualan yang lain gak,
gitu?”
“Enggak,
kebetulan cuma
ini yang bapak bisa, meracik dan membuat ketan bakar,” Aku kaget, jawaban ini pernah kudengar sebelumnya. Tepat, Ayahku pernah berucap serupa. Aku jadi teringat Ayah. “Ah, ya. Mungkin hanya kebetulan saja,” gumamku.
“Terima
kasih pak,” Aku
pun beranjak menuju loket. Sama sekali tak ada tanda-tanda kehadirannya. Mata
dan leherku tak hentinya
menjelajahi sekitaran stasiun, mencari keberadaan
gadis itu. Lama menunggu. Sampai akhirnya, pandanganku beralih ke
arah toilet. Aah, akhirnya aku melihat
gadis itu! Sungguh senang bukan kepalang. Dia mulai menuju loket. Pandanganku
tak lepas ke arahnya,
dan terus mengikutinya.
Tanpa ada rasa curiga
dia mulai masuk ke dalam
gerbong kereta, dia duduk dengan anggun.
Aku duduk agak jauh di sebrang tempat duduknya. Aku
terus menatapnya, kali ini Aku
tidak akan membiarkan dia lolos lagi
dari perhatian. Hingga pandanganku ikut berhenti seiring berhentinya
kereta. Dia pun turun.
Beberapa kali ponselku bergetar tapi kuabaikan. Aku enggan
kehilangan gadis itu lagi.
Lama mengikuti, akhirnya Ia sampai dan masuk ke sebuah Universitas ternama di
Depok.
Tanpa lelah, aku berusaha mengikutinya dari
belakang. Terlihat dari kejauhan, Ia bertemu dengan teman-temannya.
“Nampaknya dia anak orang
kaya,” gumamku agak dibuat minder. Di satu sisi,
Aku ingin mengenalnya
lebih jauh, di sisi lain kupikir Aku
orang miskin yang tak pantas dengannya.
Hari itu pun berakhir dengan rasa kecewa yang kembali
membawaku pulang ke rumah.
Pukul 08.00 malam, Aku
berada di stasiun.
Saat hendak melanjutkan
perjalanan, Aku
baru sadar uang yang Ayah
bekali sudah habis. Rasanya
marah, kesal, kecewa. Entah, Aku
bingung harus melakukan apa. Kucek
ponselku, ternyata ada lebih dari sepuluh kali panggilan tak
terjawab dari nomor yang tidak Aku
kenal. Aku
merenung, sambil mengingat adikku. Seketika
Aku kangen dengannya
“HEH, dek!”
Aku kaget. Ternyata, yang memanggilku adalah
bapak penjual ketan bakar.
Sedikit lega rasanya.
“Lagi
ngapain kamu diam
di sini?”
“Ah,
saya..hm. Eh, hehehe istirahat aja pak. Bapak belum pulang?”
“Iya, tiap hari Bapak nunggu seseorang
sampai jam segini.”
“Oh, begitu Pak. Setiap
hari ya? Nunggu siapa, Pak?”
”Gak
tiap hari juga dek, kemarin
anak saya libur.
Nah, itu anak saya.”
Aku dibuat sangat terkejut. Saat tahu kalau orang yang bapak tunjuk itu, tak lain
adalah gadis yang selama ini aku cari. Ya, gadis manis yang kuidam-idamkan
itu, kini
tengah berjalan ke arahku. Perasaanku campur aduk. Masih
setengah tidak percaya. Aku pun mulai bertanya, “Dia kuliah di Universitas yang mewah
itu? bagaimana bisa? Sedangkan Bapak..” Bapak itu tersenyum dan
berkata, “Ini semua atas dasar kemauan dan
kerja kerasnya, Bapak mah hanya mendukung saja. Bantu doa.”
Gadis itu berjalan cepat, memeluk sambil mencium
pipi Ayahnya. Mendadak Aku jadi teringat Ayah. Tak lama ponselku berbunyi, ada panggilan dari nomor
yang tidak dikenal lagi.
“Wan, ini Kang Asep. Bapak kamu kena maag
kronis, sekarang dirawat di
rumah sakit. Sudah tiga hari yang
lalu,” suara tetanggaku itu makin membuat khwatir akan
keberadaan Ayah. Tanpa
berkata-kata, Aku
menangis penuh rasa bersalah. Aku sadar sudah banyak
menyianyiakan waktu, Aku
tidak mendengarkan nasihat
orang tuaku, tidak fokus akan apa yang menjadi
tujuan utamaku.
Akhirnya, bapak ketan bakar itu mau memberiku bantuan uang. Hari itu juga, Aku lekas pergi ke rumah sakit menemui
Ayah.
Langganan:
Postingan (Atom)